Sunday, October 27, 2013

MENDAKI GUNUNG PRAU DIENG WONOSOBO



Kadang, satu ide dadakan pun bisa terlaksana daripada ide yang direncanakan dan dipersiapkan jauh jauh hari.

                Keinginan mendaki prau muncul tiba tiba setelah saya putuskan untuk mudik di lebaran haji ini, jadi sebelum pulang ke solo saya singgah dulu ke gunung prau wonosobo. Bang parlin, kawan kantor saya, sukses kuracuni dan kuajak mendaki gunung prau di dataran tinggi dieng wonosobo oktober kemarin.  akhirnya saya tidak jadi menggalau ria sendirian naek ke gunung prau hehe *malus*.
                Bus sarat penumpang “Malino Putra” perlahan mulai memasuki terminal mendolo wonosobo. Dengan suara lantang kondektur berteriak “terakhir ..terakhir” yang menandakan bahwa semua penumpang harus turun dari bus. Sabtu 12 Oktober 2013 pukul 08.00 pagi sampailah kami di kota wonosobo yang dingin ini. Muka muka lelah tampak dari penumpang bus yang yang kurang lebih menempuh 12 jam perjalanan darat dari Jakarta.
                Kuseret keril kecilku di trotoar jalanan menuju sebuah minimarket terkenal berlogo huruf A berwarna merah. Tampak beberapa laki laki dan perempuan sedang membongkar tas bawaan mereka, memasukan kantong plastik berisi blanjaan dan berkemas ulang. “ke sumbing, mas” jawaban dari mulut salah satu rombongan saat saya tanya tujuannya. Minimarket ini biasanya jadi tempat transit bagi para pendaki, entah mau ke sumbing, sindoro atau ke dieng. Karena fasilitas yang lengkap termasuk musholla dan kamar mandi. Tak lupa juga saya mandi dan berak di toiletnya haha.
                Selesai mengisi logistik dan makan pagi, kami beranjak meninggalkan kota wonosobo menuju prau. Angkot kecil warna kuning, mengantar hingga ke batas kota trus disambung dengan bus ¾. Perjalanan dari wonosobo ke dieng ditempuh sekitar 90menit dengan jarak kurang lebih 28km. Bus merupakan salah satu alat transportasi disamping bisa menyewa mobil rental. Start pendakian ke prau kami pilih dari desa pathak banteng. Sebelum mendaki, kami lapor ke petugas pos pendakian dengan membayar retribusi sebesar Rp3000,- . Pos pendakian ada dibelakang balai desa pathak banteng.  Ada juga jalur lainnya yaitu lewat dieng. Lewat dieng jalanan agak panjang tapi tanjakannya tidak terlalu terjal, sedang jika lewat pathak banteng tanjakan terjal tapi waktu tempuhnya relatif cepat.
                Sekitar jam 1 siang, kami mulai meninggalkan pos pendakian, menyebrang jalan, memasuki jalanan kampung penduduk , melewati ladang. Di perjalanan saya bertemu anak kecil perempuan berambut gimbal, bukan rahasia lagi, kalo banyak anak anak suku dieng yang punya rambut gimbal, konon karena kutukan dari raja di kerajaan dieng dulu, sementara belum ada temuan ilmiah mengapa rambutnya tiba tiba jadi gimbal. Saya sempet menyapa dan mengambil foto. Menanyakan namanya dan keinginannya kelak kalo mau dipotong rambutnya, bocah polos tak berdosa itu menjawab namanya adalah reza dan dia pengin kambing jika nanti dipotong rambutnya.
                Setelah melewati ondo sewu dan jalanan terakhir,akirnya masuk hutan setelah sebelumnya lewat pos 1 yang berupa tiang relay pemancar. Ada 3 pos lewat jalur ini. Trek yang menanjak cukup memaksa kami keluarkan ekstra tenaga haha. Tapi rasa capek terbanyar sudah saat mulai memasuki area puncak dan perbukitan, orang orang menyebutnya bukit teletubbies. Disini banyak warna warni bunga yang tumbuh dan hijaunya rumput di perbukitan. Dari tempat ini, terlihat di kejauhan 2 gunung sindoro dan sumbing. Saat pandangan di arahkan ke kota dieng, aka terlihat danau telaga warna yang tampang tenang dari kejauhan, serta rumah rumah penduduk yang terlihat kecil.
             Gunung prau sudah menjadi gunung wajib para pendaki di kawasan lokal, wonosobo, banjarnegara, temanggung , pekalongan maupun purworejo. Diakhir pekan banyak pendaki lokal mendominasi para pendaki luar kota. Maka tak heran jika di bukit teletubbis ini banyak berdiri tenda tenda dari pendaki yang berwarna warni. Sayang, pas kedatangan kami cuaca kurang menarik, terlihat dari awan putih dan mendung serta berkabut. Kami bergabung dengan pendaki laen, memasang tenda dan memasak untuk makan malam hingga akhirnya buaian kantong tidur membungkusku di hangatnya tenda dalam dinginnya alam prau.
                Minggu 13 Oktober pagi hari, bergegas ku beranjak dari buaian kantong tidur ini, kuraih sandal jepit kamera dan jaket. Setelah menenggak air putih sekedarnya, saya keluar tenda dan menikmati pagi di prau iki. Bersamaan itu, puluhan penghuni tenda juga keluar menikmati pagi. Kuarahkan pandanganku kearah timur, tempat sang surya menampakkan diri. Kembali lagi, cuaca yang kurang mendukung dan mendung mengurangi indahna sunrise di prau ini, tapi ini tidak membuat diriku kecewa. Beranjak meninggi, kamipun mulai mengemas barang brang dan memasukkan ke keril. Sebelum meninggalkan prau, kusempatkan keliling ke bukit teletubis menikmati teriknya sinar matahari dan mengambil beberapa gambar sebelum akhirnya turun kembali ke desa pathak banteng .
                Saya pribadi berharap dengan makin ramainya gunung prau, tidak akan menganggu keseimbangan alam dan kelestariannya dari tangan tangan jahil.













5 comments:

  1. keren banget neh..aku rencana mau ke sna tgl 13 desember nanti

    ReplyDelete
  2. sama saya juga berencana kesana januari 2014 :), tampaknya menarik

    ReplyDelete
  3. Thks postingnya..bisa jadi next destination ini..
    Salam lestari :)

    ReplyDelete
  4. ada stasiyn gasih di wonosobo tuh

    ReplyDelete
  5. ada stasiyn gasih di wonosobo tuh

    ReplyDelete