Kadang, satu ide dadakan pun bisa terlaksana daripada ide yang
direncanakan dan dipersiapkan jauh jauh hari.
Keinginan
mendaki prau muncul tiba tiba setelah saya putuskan untuk mudik di lebaran haji
ini, jadi sebelum pulang ke solo saya singgah dulu ke gunung prau wonosobo. Bang
parlin, kawan kantor saya, sukses kuracuni dan kuajak mendaki gunung prau di dataran tinggi dieng
wonosobo oktober kemarin. akhirnya saya tidak jadi menggalau ria sendirian
naek ke gunung prau hehe *malus*.
Bus
sarat penumpang “Malino Putra” perlahan mulai memasuki terminal mendolo
wonosobo. Dengan suara lantang kondektur berteriak “terakhir ..terakhir” yang
menandakan bahwa semua penumpang harus turun dari bus. Sabtu 12 Oktober 2013
pukul 08.00 pagi sampailah kami di kota wonosobo yang dingin ini. Muka muka
lelah tampak dari penumpang bus yang yang kurang lebih menempuh 12 jam
perjalanan darat dari Jakarta.
Kuseret
keril kecilku di trotoar jalanan menuju sebuah minimarket terkenal berlogo
huruf A berwarna merah. Tampak beberapa laki laki dan perempuan sedang
membongkar tas bawaan mereka, memasukan kantong plastik berisi blanjaan dan
berkemas ulang. “ke sumbing, mas” jawaban dari mulut salah satu rombongan saat
saya tanya tujuannya. Minimarket ini biasanya jadi tempat transit bagi para
pendaki, entah mau ke sumbing, sindoro atau ke dieng. Karena fasilitas yang
lengkap termasuk musholla dan kamar mandi. Tak lupa juga saya mandi dan berak
di toiletnya haha.
Selesai
mengisi logistik dan makan pagi, kami beranjak meninggalkan kota wonosobo
menuju prau. Angkot kecil warna kuning, mengantar hingga ke batas kota trus
disambung dengan bus ¾. Perjalanan dari wonosobo ke dieng ditempuh sekitar
90menit dengan jarak kurang lebih 28km. Bus merupakan salah satu alat
transportasi disamping bisa menyewa mobil rental. Start pendakian ke prau kami
pilih dari desa pathak banteng. Sebelum mendaki, kami lapor ke petugas pos
pendakian dengan membayar retribusi sebesar Rp3000,- . Pos pendakian ada
dibelakang balai desa pathak banteng. Ada
juga jalur lainnya yaitu lewat dieng. Lewat dieng jalanan agak panjang tapi
tanjakannya tidak terlalu terjal, sedang jika lewat pathak banteng tanjakan
terjal tapi waktu tempuhnya relatif cepat.
Sekitar
jam 1 siang, kami mulai meninggalkan pos pendakian, menyebrang jalan, memasuki
jalanan kampung penduduk , melewati ladang. Di perjalanan saya bertemu anak
kecil perempuan berambut gimbal, bukan rahasia lagi, kalo banyak anak anak suku
dieng yang punya rambut gimbal, konon karena kutukan dari raja di kerajaan
dieng dulu, sementara belum ada temuan ilmiah mengapa rambutnya tiba tiba jadi
gimbal. Saya sempet menyapa dan mengambil foto. Menanyakan namanya dan
keinginannya kelak kalo mau dipotong rambutnya, bocah polos tak berdosa itu
menjawab namanya adalah reza dan dia pengin kambing jika nanti dipotong
rambutnya.
Setelah
melewati ondo sewu dan jalanan terakhir,akirnya masuk hutan setelah sebelumnya
lewat pos 1 yang berupa tiang relay pemancar. Ada 3 pos lewat jalur ini. Trek
yang menanjak cukup memaksa kami keluarkan ekstra tenaga haha. Tapi rasa capek
terbanyar sudah saat mulai memasuki area puncak dan perbukitan, orang orang
menyebutnya bukit teletubbies. Disini banyak warna warni bunga yang tumbuh dan
hijaunya rumput di perbukitan. Dari tempat ini, terlihat di kejauhan 2 gunung
sindoro dan sumbing. Saat pandangan di arahkan ke kota dieng, aka terlihat
danau telaga warna yang tampang tenang dari kejauhan, serta rumah rumah
penduduk yang terlihat kecil.
Gunung
prau sudah menjadi gunung wajib para pendaki di kawasan lokal, wonosobo,
banjarnegara, temanggung , pekalongan maupun purworejo. Diakhir pekan banyak
pendaki lokal mendominasi para pendaki luar kota. Maka tak heran jika di bukit
teletubbis ini banyak berdiri tenda tenda dari pendaki yang berwarna warni.
Sayang, pas kedatangan kami cuaca kurang menarik, terlihat dari awan putih dan
mendung serta berkabut. Kami bergabung dengan pendaki laen, memasang tenda dan
memasak untuk makan malam hingga akhirnya buaian kantong tidur membungkusku di
hangatnya tenda dalam dinginnya alam prau.
Minggu
13 Oktober pagi hari, bergegas ku beranjak dari buaian kantong tidur ini,
kuraih sandal jepit kamera dan jaket. Setelah menenggak air putih sekedarnya,
saya keluar tenda dan menikmati pagi di prau iki. Bersamaan itu, puluhan
penghuni tenda juga keluar menikmati pagi. Kuarahkan pandanganku kearah timur,
tempat sang surya menampakkan diri. Kembali lagi, cuaca yang kurang mendukung
dan mendung mengurangi indahna sunrise di prau ini, tapi ini tidak membuat
diriku kecewa. Beranjak meninggi, kamipun mulai mengemas barang brang dan
memasukkan ke keril. Sebelum meninggalkan prau, kusempatkan keliling ke bukit
teletubis menikmati teriknya sinar matahari dan mengambil beberapa gambar
sebelum akhirnya turun kembali ke desa pathak banteng .
Saya
pribadi berharap dengan makin ramainya gunung prau, tidak akan menganggu
keseimbangan alam dan kelestariannya dari tangan tangan jahil.
keren banget neh..aku rencana mau ke sna tgl 13 desember nanti
ReplyDeletesama saya juga berencana kesana januari 2014 :), tampaknya menarik
ReplyDeleteThks postingnya..bisa jadi next destination ini..
ReplyDeleteSalam lestari :)
ada stasiyn gasih di wonosobo tuh
ReplyDeleteada stasiyn gasih di wonosobo tuh
ReplyDelete